Gema takbir membahana, menyambut
sadar yang membawaku kembali dari senyapnya mimpi. Netra mengejap, mencoba
menyempurnakan pandang. Namun, apa yang terjadi di mimpi itu, tak bisa aku bawa
kembali ke realita.
Terdapat kekosongan di dalam
atma, yang mana kekosongan itu mungkin akan terus berada. Perlahan kuresapi
sejuknya embun di pagi, kunikmati hingga saat ia pergi terganti hangatnya
mentari. Akan tetapi, lubang di hati tak mampu diberi kehangatan oleh sang
penerang bumi.
Apa yang terjadi? Masih
terus-terusan kucoba pahami. Meski dengan begitu, tidak akan bisa membuat
mereka kembali. Rindu di sanubari kian meluap, hingga menetes tak bisa
dibendung lagi.
Betul-betul tidak mungkin terjadi
lagi, tidak akan pernah lagi. Suara serak nan berat itu, begitu kurindui.
Namun, hanya terngiang membuat bendungan netra amblas ke pipi. Senandung di
kala subuh yang selalu mengetuk telinga ini, kini tiada lagi.
Semua telah pergi dan aku hanya
bisa terus-terusan merenungi, berusaha agar luapan rindu di dada ini mereda
walau hanya sekedar menepi. Ayah... Ibu..., akankah kalian dapat merasakan
tetesan rindu di dada ini? Atau setidaknya kalian tahu bahwa rindu ini, sungguh
tak bisa kuredam lagi.