Mengapa kau tidak datang, padahal kau tahu di mana aku bisa dirimu temukan? Mengapa kau begitu fasih menulis rindu yang sendu, di tempat yang tak pernah bisa diriku baca? Perihalku yang sengaja pergi, aku meminta maaf dari hati. Karena sesungguhnya aku hanya ingin kembali ditemukan oleh cinta sekali lagi. Apakah aku salah pada bagian ini? Jika memang aku keliru, mengapa kau tak juga kunjung menemuiku? Meski hanya untuk memberi penghakiman atas kesalahanku, atau sekadar membenarkan keliruku.
Aku tahu kau sedih, batinmu gelisah. Dadamu sesak, hari-harimu sudah terlalu penat untuk mengurusi hubungan yang retak. Cintaku, kau tidak sendiri. Tapi, apakah kau pernah menanyai hati yang kau miliki? Bagaimana keadaan orang ini tanpamu di ruang sunyi? Yang secara terpaksa harus menarik diri, dari seseorang yang tak pernah ingin dirinya jauhi. Sejenak, pernahkah kau mengkaji diri? Apakah aku ceria saat duniamu sedang tidak ramah? Apakah mataku tidak menunjukkan cinta saat kau menatapnya?
Terkadang luka di hati ingin bersuara, namun palsunya kebersamaan kerap membuatku tak mampu berkata. Hingga di puncak malamlah tempatku biasa berlari mencari kenyamanan, walau itu berarti pada pahitnya kesendirian perasaanku yang lebam kembali merebahkan sandaran. Padamu cinta, bukankah sudah aku katakan kesungguhan yang aku punya? Bahwa kaulah raga yang sejatinya ingin aku temani hingga nanti tiba akhir dari dunia. Tapi mungkin itu tidak cukup mengetuk relung hati yang kau jaga.
Sekarang, di antara timbul dan hilangnya rasalah hatiku berdiri. Pada kejinya perpisahan ikhlasku memandang, dan ke arah seseorang yang tidak kunjung datang harapanku menanti. Jika memang pada akhirnya kau bukanlah seseorang yang ditakdirkan Allah untuk salalunya kubersama, setidaknya aku bisa sedikit ceria karena pernah sempat dirimu miliki.