Aku pernah menyendiri, duduk di antara gelapnya malam merenung dengan tatapan penuh kekosongan. Tadinya di awal kesendirian dan renungan itu aku bersama hujan yang hanya gerimis rintik dan masih bisa ku tahan di tiap tetesannya. Lama kelamaan aku tidak mampu lagi menahan tetesan air hujan itu, karena hujannya semakin deras bersamaan dengan suaranya yang khas.
Aku pun menikmati hujan itu dan meyakini diri sendiri bahwa hujan tetaplah hujan, ia tidak abadi dan akan segera berhenti. Aku pun memulai segala renungan tentang hidup yang menurutku kadang tidak adil dan tidak seimbang. Dimana segalanya yang ku lalui terasa rumit untuk di jalankan, sehingga saat itu yang ada di dalam pikiranku hanyalah benang kusut yang kemungkinan sudah sangat sulit untuk ku tata kembali. Aku dan hujan itu pun hanya mampu terdiam dengan segenap kata-kata yang sulit keluar.
Bibirku bergetar hebat saat ingin mengucapkan bahwa aku kuat, menggigit bibir itu untuk menahan segalanya agar tidak terdengar kalangan banyak orang. Riuhnya pikiran membuatku tumbang kala itu, menyudutkanku pada titik akhir ketidaksanggupan membuatku semakin sulit untuk kembali bangkit melawan, terkapar lalu hanya berpasrah lah yang bisa aku lakukan mungkin sampai nanti, sampai mentari kembali menyapaku setelah aku terbangun lagi.